Salam sobat Mlaqumlaqu. Ada yang suka mengunjungi museum, ngga? Ternyata ada banyak hal unik dari berkunjung ke museum, lho. Selain mengetahui koleksi museum, kita juga jadi mengenal cerita sejarah dibalik berdirinya suatu museum.
Sejak anak-anak saya kecil, saya senang membawa mereka berkeliling mengunjungi museum. Selain di akhir pekan, biasanya kami lakukan di musim liburan sekolah. Hal itu bisa 2-3 museum yang kami kunjungi kalau pas liburan sekolah.
Museum yang kami kunjungi masih di seputaran Jakarta, seperti Museum Nasional atau dikenal dengan Museum Gajah, Museum Wayang, Museum Satria Mandala, Museum Keramik, Museum Bahari, Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas) dan masih banyak lagi.
Setiap museum ada cerita bersejarahnya masing-masing. Seringkali kami menemukan cerita-cerita unik mengenai sejarah museum-museum tersebut.
Misalnya saja di Muskitnas yang baru-baru ini saya kunjungi lagi dan kali ini bersama teman komunitas. Apa aja ya fakta unik yang saya temui di Muskitnas? Sebelum saya bahas, saya mau ulas sejarah berdirinya Muskitnas, ya sobat Mlaqumlaqu.
Sejarah Muskitnas dan kaitan erat dengan Sekolah Dokter Djawa
Gedung Museum Kebangkitan Nasional atau Muskitnas yang beralamat di Jalan Abdul Rahmat Saleh No.26, Senen, Jakarta Pusat ini awalnya adalah gedung sekolah STOVIA (School Tot Opleding Van Inlands Artsen) cikal bakal Sekolah Dokter Djawa. Berdiri sejak tahun 1851, bangunan ini memiliki banyak cerita sejarah yang pada akhirnya menjadi gedung Muskitnas yang diresmikan pada 20 Mei 1974.
Pada perjalanannya gedung Muskitnas ini menjadi gedung sekolah STOVIA di tahun 1851. Namun baru pada tahun 1902 diresmikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada saat itu banyak warga Indonesia yang bersekolah di sana, termasuk dr. Wahidin Sudirohusodo.
Berjalannya waktu di tahun 1908 dr. Wahidin mendirikan organisasi Boedi Oetomo bersama Soetomo salah satu pelajar Sekolah Dokter Djawa waktu itu. Di tahun 1920, kegiatan belajar mengajar sekolah STOVIA pindah ke jalan Salemba yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sayangnya di tahun 1942, dengan masuknya tentara Jepang sekaligus mengakhiri kegiatan pembelajaran di STOVIA. Hingga akhirnya di tahun 1974, Presiden Soeharto meresmikan gedung STOVIA sebagai Museum Kebangkitan Nasional.
Akses mudah menuju Muskitnas
Muskitnas yang berada di pusat kota ini sangat strategis dan mudah dijangkau baik oleh pengguna transportasi umum seperti kereta commuter maupun bus Transjakarta.
Bagi pengguna kereta commuter, kalian dapat turun di stasiun Senen lalu lanjut berjalan kaki sejauh kurang lebih 1 km. Bisa juga disambung dengan menggunakan bus Transjakarta 1P dari terminal Senen menuju Blok M dan berhenti di depan Muskitnas. Atau pengguna bus Transjakarta 5C jurusan Kampung Melayu-Juanda dapat turun di halte Kwitang dan lanjut jalan kaki sejauh kurang lebih 300 meter menuju Muskitnas.
Di sekitar Muskitnas juga terdapat RSPAD, atrium Senen, asrama BRIMOB, Tugu Tani, stasiun Gambir, Monas, dan lainnya.
Untuk operasional atau jam berkunjung Muskitnas yaitu di hari Selasa - Minggu, Senin dan Hari Besar tutup. Dimulai dari jam 08.00 - 16.00 dengan tiket masuk sebesar Rp5.000/umum/orang.
Ada apa aja di Muskitnas?
Dengan lahan yang luas, Muskitnas memiliki bangunan yang bisa dibilang masih asli serta ruang terbuka yang hijau. Hanya beberapa bagian saja yang mengalami pemugaran, selebihnya masih sesuai bentuk aslinya dengan dilakukan berbagai perbaikan.
Sobat Mlaqumlaqu, yang saya suka dari Muskitnas yaitu bangunannya semuanya 1 lantai, tidak bertingkat dan masih banyak ruang terbuka dan pepohonan yang membuat asri dan lega pemandangan. Ruangan-ruangannya juga didesain dengan langit-langit yang tinggi hingga perputaran udara dan cahaya sangat terjaga. Maklum dulu belum ada teknologi AC, jadi ruangan bangunan jaman dulu banyak yang tinggi-tinggi, jadi bikin adem.
Oiya, sobat Mlaqumlaqu, Muskitnas sekarang ini memiliki koleksi lebih dari 1.200 benda-benda sejarah, antara lain dokumen-dokumen historis, seperti buku Max Havelar, foto-foto dan lukisan, benda-benda yang pernah digunakan oleh tokoh-tokoh perjuangan, bangunan dan monumen bersejarah, serta koleksi pakaian dan peralatan perjuangan.
Di gedung Muskitnas dulu terdapat ruangan-ruangan yang selain untuk ruang belajar siswa kedokteran juga terdapat asrama, ruang praktek, dan ruang olahraga. Kini ruangan-ruangan tersebut menjadi ruang pameran seperti:
Ruang Pengenalan, yaitu tentang penggambaran masuknya kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Terdapat peta jalur rute masuk kapal-kapal ke Indonesia.
Ruang Awal Pergerakan Nasional, di mana terdapat ruang kelas siswa STOVIA, patung setengah badan para pendiri Budi Utomo.
Ruang Diorama Kedokteran, berisi alat-alat kedokteran yang digunakan para siswa Sekolah Dokter Djawa, ruangan obat, ruangan pasien.
Selain ruangan pameran, Muskitnas juga dilengkapi dengan fasilitas lain seperti ruang perpustakaan, ruang penayangan dokumentasi, kantin, aula utama, toilet, mushola dan juga tempat parkir.
Fakta unik pemecah kepala di Muskitnas
Sayangnya saat itu perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas dua, maka STOVIA hanya menerima siswa laki-laki saja. Kartini, yang juga tokoh pergerakan perempuan asal Jepara ingin masuk STOVIA, karena beliau juga bercita-cita hendak menjadi dokter, namun terhalang peraturan itu.
Akhirnya mulai tahun 1912, STOVIA menerima siswa perempuan. Menariknya siswa pertama dan sekaligus dokter perempuan pertama Indonesia yaitu Marie Thomas, yang merupakan seorang perempuan asal Manado, Sulawesi Utara.
Dari beberapa ruang pameran yang ada di Muskitnas ini saya menemukan fakta unik terkait alat-alat kedokteran yang digunakan waktu itu. Salah satunya yaitu Alat Pemecah Kepala. Saya sempat bergidik membaca tulisan yang terpampang di papan informasi yang berada di dekat alat tersebut.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Hai..Terima kasih sudah mampir di blog saya. Tolong tinggalkan komen dengan bahasa yang santun, No Sara, No Politik.