Halo sobat Mlaqumlaqu. Adakah sobat Mlaqumlaqu yang suka belajar aksara lain selain aksara Latin yang biasa kita gunakan sehari-hari? Aksara dari daerah atau negara manakah yang sobat sedang pelajari sekarang?
Ngomongin soal aksara, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan budaya ini juga memiliki aksara daerah. Sebagai orang dengan suku Jawa dari pihak kedua orang tua, saya malah tidak pernah mengenal aksara Jawa sebelumnya.
Dikarenakan lahir, besar dan bersekolah dasar hingga menengah di Jakarta, saya tidak mengenal aksara Jawa secara mendalam. Aksara Jawa hanacaraka ini ternyata cukup menarik bagi saya. Saya tertarik dengan bentuk aksara yang berbeda dengan aksara Latin.
Keinginan untuk mempelajari aksara Jawa ada dalam diri dan sepertinya semesta mendukung. Ibarat pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ketika saya menemui postingan dibukanya Kelas Aksara Jawa di akun Instagram Perpusnas, saya pun bergegas mendaftar. Alhamdulillah dari banyaknya peserta yang mendaftar, saya terpilih bersama 19 peserta lainnya.
Sekilas tentang aksara Jawa
- Pallawa, sebelum 700 Masehi
- Kawi tahap awal, antara 750-925 Masehi
- Kawi tahap akhir, antara 925-1250 Masehi
- Majapahit, antara 1250-1450 Masehi
- Jawa Baru, 1500-sekarang
Kelas belajar aksara Jawa
Kelas belajar aksara Jawa yang diadakan Perpusnas ini berlangsung selama sebulan setiap hari Sabtu, dengan 4x pertemuan di bulan Februari. Pengajar kelas aksara Jawa ini dibawakan oleh Tio Cahya Sadewa, S.S yang merupakan seorang filolog Perpusnas.
Pada pertemuan pertama di hari Sabtu (1/02), kami mempelajari Aksara Dasar atau disebut juga dengan Carakan Nglegena. Aksara Jawa Nglegena ini adalah aksara Jawa yang ditulis tanpa tambahan sandhangan maupun pasangan aksara. Asal kata Nglegena sendiri menurut Bausastra Jawa berarti telanjang, polos, tanpa tambahan apapun.
Aksara Jawa bersifat silabik, yaitu huruf konsonan dan vokal menyatu membentuk suku kata (ha,na,ca,ra,ka bukan h,n,c,r,k). Adapun vokal a pada aksara Nglegena (berakhiran terbuka) dilafalkan seperti pada kata "motor, pokok, kolot" dalam Bahasa Indonesia. Aksara Carakan yang digunakan hingga saat ini berjumlah 20.
Selain mendapatkan penjelasan dari materi aksara dasar ini, kami juga langsung mempraktekan cara menulis dan membacanya. Menariknya lagi, kami para peserta tidak semuanya berasal dari suku Jawa, tapi dari berbagai suku lain yang tertarik untuk mempelajari aksara Jawa.
Selanjutnya kami mempelajari pengenalan Sandhangan. Sandhangan sendiri dalam bahasa Jawa berarti pakaian. Jadi Sandhangan dalam aksara Jawa yaitu atribut atau tanda baca aksara Jawa yang berfungsi untuk membentuk bunyi vokal atau konsonan tertentu.
Sandhangan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: Sandhangan Swara, Panyigeng Wanda dan Wyanjana (Panjingan). Sandhangan Swara ada 5 jenis yaitu:
- Wulu, yang membentuk vokal /i/
- Pepet, yang berfungsi membentuk vokal /e/, seperti pada kata "senang,mengapa,lebih" dalam bahasa Indonesia. Namun ada pengecualian aksara la dan ra yang tidak bisa diberi sandhangan Pepet, melainkan diganti dengan aksara nga lelet dan pa cerek.
- Suku, yang membentuk vokal /u/ dan ditulis menempel di sampingan kanan bawah aksara.
- Taling, yang membentuk vokal /e/ yang ditulis di samping kiri aksara, seperti pada kata "lele,pare" dalam Bahasa Indonesia.
- Taling Tarung, yang berfungsi membentuk vokal /o/ seperti pada kata "soto,toko" dalam Bahasa Indonesia dan ditulis mengapit aksara yang akan diberi sandhangan.
- Pangkon, sandhangan ini berfungsi untuk mematikan konsonan. Aksara yang dibubuhi sandhangan pangkon ini menjadi aksara mati, aksara konsonan penutup suku kata, atau aksara sigegan wanda. Pada umumnya pangkon ini digunakan di akhir kata atau kalimat untuk mematikan konsonan, namun dalam keadaan tertentu pangkon dapat digunakan di tengah kata atau kalimat.
- Wignyan, sandhangan ini sebagai pengganti sigegan ha dan dipakai untuk melambangkan konsonan /h/ penutup suku kata, seperti pada kata "lirih,jirih". Penulisannya pun diletakkan di belakang aksara yang dibubuhi sandhangan itu.
- Layar, digunakan sebagai pengganti sigegan ra,yang dipakai untuk melambangkan konsonan /r/ penutup suku kata. Penulisannya dilakukan diatas bagian akhir aksara yang dibubuhi sandhangan itu.
- Cecak, digunakan sebagai pengganti sigegan ngga dan dipakai untuk melambangkan konsonan /ng/ penutup suku kata. Penggunaannya ditulis di atas bagian akhir aksara yang dibubuhi sandhangan itu. Apabila sandhangan cecak digunakan bersamaan pepet, maka cecak dapat dituliskan dalam pepet.
- Cakra, untuk memberikan sisipan konsonan /r/ dalam satu suku kata. Cakra juga bisa digabungkan dengan sandhangan Swara seperti wulu, suku, taling dan taling Tarung. Tapi Cakra tidak dapat digabungkan dengan sandhangan Pepet.
- Cakra Keret, untuk memberikan sisipan /re/ pada satu aksara. Cakra Keret ini merupakan pengganti gabungan Cakra dan Pepet. Penggunaannya tidak dapat digabungkan dengan sandhangan y, sebab Cakra Keret ini sudah melambangkan gugus konsonan r dan e.
- Pengkal, untuk memberikan sisipan konsonan /y/ pada satu aksara. Pengkal ditulis menempel di belakang aksara yang diberi tanda pengkal itu.
- Panjingan La. Panjingan ini dipakai untuk melambangkan konsonan /l/ yang bergabung dengan konsonan lain di dalam suatu kata. Panjingan la ditulis di bawah aksara yang dibubuhi Panjingan la yang dari bentuknya sama persis dengan pasangan la, bedanya ada di fungsinya. Panjingan berfungsi sebagai sisipan konsonan pada satu suku kata, sedangkan pasangan digunakan untuk menghubungkan suku kata tertutup konsonan dengan suku kata berikutnya.
- Panjingan wa, untuk melambangkan konsonan /w/ yang bergabung dengan konsonan lain di dalam suatu suku kata dan ditulis di bawah aksara yang dibubuhi Panjingan wa. Bentuknya sama namun beda di fungsi. Panjingan wa sebagai sisipan konsonan pada satu suku kata, sedang pasangan digunakan untuk menghubungkan suku kata tertutup konsonan dengan suku kata berikutnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Hai..Terima kasih sudah mampir di blog saya. Tolong tinggalkan komen dengan bahasa yang santun, No Sara, No Politik.